Film Demon Slayer ini melanjutkan kisah dari akhir Hashira Training Arc, membawa Tanjiro dan para pemburu iblis ke dalam Infinity Castle—markas besar Muzan Kibutsuji yang penuh jebakan dan lorong bergerak. Fokus utama film ini mencakup pertarungan Tanjiro dan Giyu melawan Akaza, Zenitsu menghadapi Kaigaku, dan Shinobu melawan Doma.
Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba – The Movie: Infinity Castle digarap oleh sutradara Haruo Sotozaki dengan produksi dari studio animasi ternama Ufotable. Berbeda dengan Swordsmith Village dan Hashira Training yang hadir dalam format kompilasi episode TV, Infinity Castle dirancang sebagai adaptasi layar lebar penuh. Keputusan ini diambil karena materi cerita yang sarat aksi dan dramatisasi membutuhkan porsi penayangan yang setara dengan Mugen Train.
Bagian pertama yang bertajuk Akaza Returns resmi tayang di Jepang pada 18 Juli 2025 melalui kerja sama distribusi Aniplex dan Toho. Hanya dalam tiga hari pertama, film ini meraih pendapatan lebih dari ¥5,5 miliar. Dengan torehan itu, Akaza Returns menjadi pemegang rekor pembukaan tertinggi dalam sejarah box office Jepang.
Infinity Castle bukan hanya latar tempat biasa. Istana tanpa batas ini terus bergerak, memisahkan para pemburu iblis satu sama lain, memaksa mereka menghadapi musuh berbahaya di lokasi yang tidak mereka kenal. Di sinilah ketegangan dan atmosfer mencekam dibangun dengan sempurna.
Studio Ufotable sekali lagi menunjukkan kelasnya dalam menggarap animasi. Infinity Castle divisualisasikan sebagai istana bergerak penuh jebakan yang membuat penonton merasakan betapa frustasi para pemburu iblis terjebak di tempat terkutuk ini. Lorong-lorong yang berubah arah, ruangan yang berpindah tempat, hingga kamera yang bergerak dinamis menciptakan pengalaman visual imersif.
Ufotable bukan hanya memamerkan kecanggihan teknis, tetapi juga menggunakannya untuk memperkuat narasi. Penonton seolah ikut terseret ke dalam dunia tiga dimensi penuh misteri dan bahaya yang membungkus film ini.
Karakter penting tampil dengan pakaian penuh warna, rambut mencolok, dan mata yang dirancang detail. Setiap pantulan cahaya di mata mereka tampak dipikirkan secara matang. Dari jubah Hashira yang megah hingga pola kimono Tanjiro, semua elemen desain karakter dikerjakan dengan kualitas “lukisan bergerak” khas Ufotable.
Selain fisik, moralitas setiap tokoh mendapat porsi cerita yang tepat. Zenitsu, misalnya, mendapatkan sorotan lewat rivalitasnya dengan Kaigaku—mantan senior yang kini menjadi iblis. Konflik ini bukan hanya pertarungan fisik, tetapi juga pertempuran harga diri. Di sisi lain, Tanjiro tetap digambarkan sebagai karakter dengan moralitas tinggi yang selalu mengingat ajaran mendiang ayahnya, yang menjadi sumber semangat juangnya.
Walau berstatus iblis peringkat atas, Akaza diberikan latar belakang tragis yang membuat penonton memahami alasannya menjadi makhluk yang haus kekuatan. Ceritanya dihadirkan dengan nuansa romantis dan penuh luka, membuatnya bukan sekadar penjahat satu dimensi.
Pertarungannya melawan Tanjiro dan Giyu tidak hanya epik secara visual, tetapi juga emosional. Aksi tak terduga Akaza di akhir pertarungan, mengingatkan bahwa bahkan antagonis pun bisa mendapatkan simpati jika penulisannya dilakukan dengan hati.
Adegan tarung dikemas dengan frame rate tinggi, sudut kamera ekstrem, dan ledakan warna dari teknik pernapasan yang memanjakan mata. Intensitas ini tidak mengorbankan kejernihan visual—penonton tetap bisa mengikuti setiap ayunan pedang, setiap percikan darah, dan setiap ekspresi wajah karakter.
Sesekali, film ini menyelipkan humor tipis untuk menjaga ritme dan memberikan jeda di tengah ketegangan. Beberapa kali tawa penonton pecah saat mendengar isi hati Tanjiro atau aksi konyol Inosuke.
Flashback yang Menguatkan Empati Penonton
Kilas balik dalam film ini digunakan secara efektif. Alih-alih menjadi jeda membosankan di tengah aksi, flashback justru memperkaya cerita. Baik itu masa kecil Zenitsu, kenangan Tanjiro akan ayahnya, atau tragedi masa lalu Akaza, semuanya ditempatkan di momen yang tepat, memperkuat ikatan emosional antara penonton dan karakter.
Dengan visual memukau garapan Ufotable, desain karakter penuh warna dan kepribadian, serta cerita yang memberi simpati bahkan kepada antagonis seperti Akaza, film ini menjadi pembuka yang epik untuk arc terakhir Demon Slayer.
Dunia Games memberikan pujian setinggi-tingginya kepada tim kreatif di balik film ini. Mereka berhasil menciptakan tontonan yang bukan hanya menghibur, tetapi juga meninggalkan kesan di hati. Dengan adegan tarung intens, percikan humor, dan kilas balik yang membangun kepedulian penonton kepada karakter—termasuk antagonisnya—Infinity Castle Part 1 layak disebut sebagai salah satu adaptasi anime terbaik di layar lebar tahun ini.
Nantikan informasi-informasi menarik lainnya dan jangan lupa untuk ikuti Facebook dan Instagram Dunia Games ya. Kamu juga bisa dapatkan voucher game untuk Mobile Legends, Free Fire, Call of Duty Mobile dan banyak game lainnya dengan harga menarik hanya di Top-up Dunia Games.